Rabu, 11 Januari 2012

Tentang Tasyabbuh

--
Oleh : Maeluny Sadewo Orbar


BERIKUT SEDIKIT RINCIAN TASYABBUH dengan ORANG KAFIR

Bila penyerupaan (TASYABBUH) nya dengan tujuan meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir.
Bila penyerupaan (TASYABBUH) nya dengan tujuan hanya meniru tanpa disertai untuk turut menyemarakkan kekafirannya hukumnya tidak kafir namun berdosa.
Bila TASYABBUH nya tidak sengaja meniru sama sekali tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kebetulan sama dengan mereka maka tidak haram tetapi makruh.
(مسألة : ي) : حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الصلاة.
Kesimpulan dari pernyataan ulama tentang berbusana dengan menyerupai orang-orang kafir adalah jika dalam berbusana dengan mereka itu karena adanya rasa suka kepada agama mereka dan bertujuan untuk bisa serupa dengan mereka dalam syiar-syiar kafir atau agar bisa bepergian bersama mereka ketempat-tempat peribadatan mereka maka dalam dua hal diatas dia menjadi kafir, namun jika tidak bertujuan semacam itu yakni hanya bisa sekedar menyerupai mereka dalam syiar-syiar hari raya atau sebagai media agar bisa bermuamalah berhubungan dengan mereka dalam hal-hal yang diperkenankan maka ia berdosa (tidak sampai kafir, red), atau ia setuju dengan busana orang kafir tanpa suatu tujuan apapun maka hukumnya makruh seperti mengikat selendang dalam shalat.
Bughyah al-Mustarsyidiin I/529
فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعاً أَوْ فِي شِعَارِ الْعِيْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنِ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ، وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدِ التَّشَبُّهَ بِهِمْ أَصْلاً وَرَأْساً فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ
"Ketika berpakaian (tingkah laku) menyerupai orang kafir, untuk syi’ar kekafirannya maka ia kafir dengan pasti ….s/d … seandainya tidak bertujuan menyerupai mereka sama sekali tidak apa-apa baginya tetapi itu makruh".
قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ نَفَعَ اللهُ مَا مُلَخَّصُهُ ظَاهِرًا لِلَفْظِ الزَّجْرِ عَنِ التَّشَبُّهِ فِي كُلِّ شَيْئٍ، كَذَا عُرِفَ مِنَ اْلأَدِلَّةِ اْلأُخْرَى أَنَّ الْمُرَادَ التَّشَبُّهُ فِي الزِّيِّ وَبَعْضِ الصِّفَاتِ وَنَحْوِهَا لاَ التَّشَبُّهُ فِي أُمُوْرِ الْخَيْرِ.
"Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata menurut dhoirnya lafadz adalah melarang menyerupai pada setiap sesuatu (dari kafir) begitu juga dalil-dalil lain mengatakan. Maksudnya menyerupai (orang-orang kafir yang dihukumi haram) adalah menyerupai dalam pakaian, hiasan, sifat-sifatnya dan sesamanya bukan menyerupai dalam urusan kebaikan".

fathul barri X/ 273

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

Mengapa Perlu Bertariqah ?



Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang terhormat, apakah setiap muslim lebih baik menjadi jama'ah thariqah? Apakah, dengan cara menjadi jama'ah thariqah, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamal-kan tuntunan agama, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan seorang mursyid? Demikian pertanyaan dan saya. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Busman Ependi Lamongan, Jawa Timur

Wa alaikumussalam wr. wb.
Dalam Al-Quran ada ayat yang artinya, "Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat inl turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, bilamana aku menjadi mukmin sesungguhnya?

Baginda Nabi SAW menjawab, "Apa-bila engkau mencintai Allah. Mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang di-cintai Allah dan Rasul-Nya. Dan keimanan mereka itu bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW mengulangi kalimat yang terakhir sampai tiga kali. Lalu beliau kembali bersabda, "Kadar bobot iman se¬seorang tergantung pada kecintaannya kepadaku. Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenci-annya kepadaku."

Jadi, kalau kecintaannya kepada Rasulullah SAW bertambah, kecintaan dan keimananya kepada Allah SWT pun akan ber¬tambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya.
Demikianlah Allah SWT mengajarkan kepada kita cara mencintaiNya. Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bias dipisahkan. Kalau seseorang mencin¬tai Allah, la juga mencintai Nabi-Nya. la akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintaj Rasul-Nya.

Siapakah orang-orang yang dicintai Rasul-Nya? Tidak lain adalah para pewaris
nya, yaitupara ulama, orang-orang shalih, termasuk para mursyid. Merekalah yang senantiasa menapaki jejak Rasulullah SAW, mengikuti sunnah-sunnahnya.

Sementara itu, keimanan terbentuk secara terbimbing. Nah, di situlah peran para mursyid. Melalui bimbingannya, kita meningkatkan tauhid dan ma'rifat kita kepada Allah SWT.

Lalu, bagaimana dengan orangyang tidakberthariqah? Sebelumnya, perlu di-ketahui bahwa orang yang ingin bertha-riqah, teriebih dahulu harus memahami syari'at dan mefaksanakannya. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dipahaminya. Di antaranya, memahami hak Allah SWT dan hak para rasul.

Setelah mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang di-sampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bag! yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui arkanui iman (rukun Iman) serta beberapa tuntunan Islam lalnnya, seperti shalat, wudhu', dan Iain-Iain.

Namun Anda harus tahu, orangyang menempuh jalan kepada Allah SWT secara sendirian tentu berbeda dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah SWTbersama-sama dengan orang lain, yaitu mursyid.

Kalau mau menuju Makkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tem-pat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekalikedua tempatitu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuan-nya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai pembimbing akan lebih runtut dan sempurna, karena si pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun Yamani, sumur zamzam, maqam Ibrahim, dan Iain-Iain. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, kalau tidak tahu rukun zamani, la tidak akan mampu memulai thawaf, karena tidak tahu bagaimana memulai-nya. Itulah perbedaannya.

PROBLEMA BERSUCI DAN SHALAT DALAM KONDISI OPERASI

DESKRIPSI 

Paiman dan Paimin adalah saudara kembar. Keduanya bisa dikatakan kembar dalam berbagai hal, mulai dari wajah, sifat, perilaku, hobi, bahkan dalam masalah sakitpun terlihat 'kompak'. Suatu ketika, keduanya mengalami gangguan pada "saluran pembuangan kotoran" (qubul/dubur). Paiman tidak bisa buang air kecil, sedangkan Paimin tidak bisa buang air besar. Pihak keluarga akhirnya membawa keduanya ke Rumah Sakit terdekat guna menjalani operasi. Selama berhari-hari alat kelamin (dzakar) Paiman disambung dengan selang. Demikian juga Paimin dipasang selang yang keduanya sama-sama berfungsi sebagai "jalan pembangunan sementara" hingga mereka sembuh seperti sedia kala.

PERTANYAAN 

a. Bagaimana hukum shalat Paiman dan Paimin, dan bagaimana pula cara bersucinya, dengan kondisi selang terpasang pada alat kelaminnya yang pasti selalu terkena najis?
b. Haruskah keduanya melakukan qadla' shalat yang dilakukan dalam kondisi tersebut?

JAWABAN

a. Mempertimbangkan pemasangan selang tersebut karena ada hajat, dan apabila dilepas dapat menimbulkan kesulitan yang umumnya fatal, maka keduanya tetap wajib shalat dan hukumnya sah kendatipun terkena najis. Adapun cara bersucinya dikondisikan sesuai dengan kemampuannya.

Catatan:
Sebelum shalat harus berusaha meminimalisir najis yang terdapat pada selang semampunya.

b. Tidak wajib, karena dlarar (bahaya fatal) ketika melepas selang, termasuk kategori udzur nadir yang berlanjut (dawam).

REFERENSI

1. المجموع شرح المهذب الجزء الثالث صـ 101
قال المصنف رحمه الله تعالى إذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها ولم يجد ما يغسلها به صلى وأعاد, كما قلنا فيمن لم يجد ماء ولا ترابا وإن كان على قرحه دم يخاف من غسله صلى وأعاد, وقال في القديم لا يعيد لأنه نجاسة يعذر في تركها فسقط معها الفرض كأثر الاستنجاء, والأول أصح لأنه صلى بنجس نادر غير متصل فلم يسقط معه الفرض كما لو صلى بنجاسة نسيها.
(الشرح) القرح بفتح القاف وضمها لغتان, وقوله: (صلى بنجس نادر) احتراز من أثر الاستنجاء, وقوله: (غير متصل) احتراز من دم المستحاضة. (أما حكم المسألة) فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال {وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم} رواه البخاري ومسلم. وتلزمه الإعادة لما ذكره المصنف وقد سبق في باب التيمم قول غريب أنه لا تجب الإعادة في كل صلاة أمرناه أن يصليها على نوع خلل أما إذا كان على قرحه دم يخاف من غسله وهو كثير بحيث لا يعفى عنه ففي وجوب الإعادة القولان اللذان ذكرهما المصنف الجديد الأصح: وجوبها والقديم: لا يجب وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والمزني وداود والمعتبر في الخوف ما سبق في باب التيمم, وقوله: (كما لو صلى بنجاسة نسيها) هذا على طريقته وطريقة العراقيين أن من صلى بنجاسة نسيها تلزمه الإعادة قولا واحدا, وإنما القولان عندهم فيمن صلى بنجاسة جهلها فلم يعلمها قط, وعند الخراسانيين في الناسي خلاف مرتب على الجاهل, وسنوضحه قريبا حيث ذكره المصنف إن شاء تعالى.

2. الشرواني الجزء الثاني صـ 134
(ولو وصل) معصوم إذ غيره لا يأتي فيه التفصيل الآتي على الأوجه لأنه لما أهدر لم يبال بضرره في جنب حق الله تعالى وإن خشي منه فوات نفسه (عظمه) لاختلاله وخشية مبيح تيمم إن لم يصله (بنجس) من العظم ولو مغلظا ومثل ذلك بالأولى دهنه بمغلظ أو ربطه به (لفقد الطاهر) الصالح للوصل كأن قال خبير ثقة إن النجس أو المغلظ أسرع في الجبر أو مع وجوده, وهو من آدمي محترم (فمعذور) في ذلك فتصح صلاته للضرورة ولا يلزمه نزعه وإن وجد طاهرا صالحا كما أطلقاه وينبغي حمله على ما إذا كان فيه مشقة لا تحتمل عادة وإن لم تبح التيمم ولا يقاس بما يأتي لعذره هنا لا ثم (وإلا) بأن وصله بنجس مع وجود طاهر صالح ومثله ما لو وصله بعظم آدمي محترم مع وجود نجس أو طاهر صالح (وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا), وهو ما يبيح التيمم وإن تألم واستتر باللحم فإن امتنع أجبره عليه الإمام أو نائبه وجوبا كرد المغصوب ولا تصح صلاته قبل نزع النجس لتعديه بحمله مع سهولة إزالته. فإن خاف ذلك ولو نحو شين وبطء برء لم يلزمه نزعه لعذره بل يحرم كما في الأنوار وتصح صلاته معه بلا إعادة (قيل) يلزمه نزعه (وإن خاف) مبيح تيمم لتعديه.

3. الأشباه والنظائر الجزء الأول صـ 400
قاعدة: فيما يجب قضاؤه بعد فعله لخلل, وما لا يجب. قال في شرح المهذب: قال الأصحاب: الأعذار قسمان: عام ونادر فالعام: لا قضاء معه للمشقة, ومنه: صلاة المريض قاعدا, أو موميا, أو متيمما والصلاة بالإيماء في شدة الخوف, وبالتيمم في موضع, يغلب فيه فقد الماء. والنادر: قسمان: قسم يدوم غالبا, وقسم لا يدوم. فالأول: كالمستحاضة, وسلس البول, والمذي, ومن به جرح سائل, أو رعاف دائم, أو استرخت مقعدته فدام خروج الحدث منه, ومن أشبههم, فكلهم يصلون مع الحدث, والنجس, ولا يعيدون للمشقة والضرورة. والثاني نوعان: نوع يأتي معه ببدل للخلل, ونوع لا يأتي. فالأول: كمن تيمم في الحضر لعدم الماء, أو للبرد مطلقا, أو لنسيان الماء في رحله, أو مع الجبيرة الموضوعة على غير طهر, والأصح في الكل: وجوب الإعادة. ومنه من تيمم مع الجبيرة الموضوعة على طهر, ولا إعادة عليه, في الأصح قال في شرح المهذب, ومن الأصحاب من جعل مسألة الجبيرة: من العذر العام وهو حسن. والثاني: كمن لم يجد ماء ولا ترابا, والزمن, والمريض الذي لم يجد من يوضئه, أو من يوجهه إلى القبلة, والأعمى الذي لم يجد من يدله عليها, ومن عليه نجاسة لا يعفى عنها, ولا يقدر على إزالتها والمربوط على خشبة ومن شد وثاقه ; والغريق, ومن حول عن القبلة, أو أكره على الصلاة مستدبرا أو قاعدا. فكل هؤلاء تجب عليهم الإعادة ; لندور هذه الأعذار. وأما العاري: فالمذهب أنه يتم الركوع والسجود, ولا إعادة عليه وقيل: يومئ, ويعيد, ومن خاف فوت الوقوف لو صلى العشاء. قيل: يصلي صلاة شدة الخوف ويعيد, واختاره البلقيني. صرح به العجلي, كما نقله ابن الرفعة في الكفاية وقيل: لا يعيد. وقيل: يلزمه الإتمام, ويفوت الوقوف, وصححه الرافعي. وقيل: يبادر إلى الوقوف, ويفوت الصلاة لأنها يجوز تأخيرها عن الوقت, للجمع بمشقة السفر, ومشقة فوات الحج أصعب, وهذا ما صححه النووي.

4. الشرقايوي الجزء الأول صـ 178 الحرمين
(وطهارة بدن ملبوس ومكان) للصلاة (عن نجس) فلا تصح الصلاة معه ولو نسيا او جاهلا كما في نظيره من طهارة الحدث (فإن لم يجد
مايغسله به أو خاف) من استعماله (تلفا) لنفسه او عضوه او منفعته (او نسيه) اي الماء (صلى) بحاله لحرمة الوقت (وأعاد) وجوبا بالندرة ذلك وتعبيري بالملبوس أعم من تعبيره بالثوب لشموله الخف ونحوه.
(وملبوس) أي من ثوب وغيره من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك ولا يضر نجس يحاذيه لعدم ملاقه له فصار كما لو صلى على بساط طرفه نجس او مفروش على أرض نجسة فإن صلاته تصح لكن إذا عرق قدمه فالتصق بالبساط المذكور ار متعلقا به عد حاملا له فلتبطل صلاته إن لم ينفصله عنه ..الى ان قال.. (قوله: صلى بحاله وأعاد) محل ذلك في الملبوس إذا عجز عن نزعه وفي المكان إذا عجز عن نزعه وفي المكان إذا عجز عن الإنتقال. 

Selasa, 08 November 2011

Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah?

Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath'u (persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta' atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi.
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi).
Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan daasr suat An-Nisa' ayat 24:
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).
Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak waktu.
Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal).
Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani 'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224.
Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71)
Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar'iyyah II/7)
Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.”
Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut'ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.

Ahlussunnah wal Jamaah di Bumi Nusantara

Secara geografis Nusantara –di mana Indonesia sebagai bagian darinya--merupakan wilayah strategis baik secara ekonomi dan politik serta pertahanan, karena posisinya pada perlintasan budaya antar benua. Dengan posisinya yang strategis itulah Nusantara menjadi perlintasan agama yang sangat penting. Kawasan ini mengalami perubahan budaya dan agama yang beruntun namun berjalan cukup damai.

Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara.

Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.

Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya.

Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya.

Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada.

Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat.

Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat.

Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi.

Sebenarnya kekuatan Islam Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas.

Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon (Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar (Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan mampu menentukan masa depan bangsa ini.

Mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini.

Fasal tentang Maslahah ‘Ammah/ Kepentingan Umum

Diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. AI-Nahl: 64)

Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan syariat.

Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara'.

Penggunaan maslahah ‘ammah sebagai tolok ukur dan pertimbangan untuk menetapkan suatu kebijaksanaan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan penggunaan maslahah ‘ammah tidak pada tempatnya, seperti untuk menuruti hawa nafsu, kesewenang-wenangan dan menuruti kepentingan pribadi atau ke1ompok tertentu dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum.

Dengan menggunakan maslahah ‘ammah sebagai pertimbangan untuk menetapkan setiap kebijakan, maka setiap kebijakan yang ditetapkan tidak akan menimbulkan kerugian atau menyalahi kepentingan umat manusia secara luas.

Masalah

Dalam suasana pembangunan yang berkembang sangat dinamik dewasa ini, selalu ditemukan istilah ‘kepentingan umum’. Meskipun disadari bahwa tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat luas dan dilakukan dengan sebanyak mungkin menyediakan sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum, diakui atau tidak, ternyata dalam pelaksanaan pembangunan, batasan untuk kepentingan umum ini sering menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya.

Kepentingan umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut ‘selera’ sebagian kedl kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi oleh masyarakat.

Kenyataan yang demikian membawa akibat dan dampak negatif dalam pembangunan. Pemakaian alasan "untuk kepentingan umum" tanpa berpedoman pada maslahah ‘ammah yang dibenarkan oleh syara' akan melahirkan bentuk penyimpangan terhadap hukum syariat dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat lemah oleh golongan masyarakat yang kuat.

فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Maka tegakkanlah hukum di antara manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan menjerumuskan Anda pada k£sesatan, jauh dari jalan Allah. "(QS. Shad: 26)

فَأَمَّا مَن طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

Maka siapa saja yang bertindak tirani dan memilih kehidupan dunia, maka neraka jahim layak untuk menjadi tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 27-28)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ

Andaikan kebenaran mengikuti keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS Al-Mukminun: 71)

Kedudukan maslahah ‘ammah sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebajikan perlu diaktualisasikan sebagai landasan untuk menyikapi masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Penggunaan maslahah ‘ammah dirasakan sudah menjadi kebutuhan untuk memperkaya dan melengkapi landasan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan dari berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan dalih kepentingan umum –khususnya dalam pelaksanaan pembangunan yang sering terjadi selama ini.

Untuk menghindari kemudharatan dan dampak negatif pembangunan, maka maslahah ‘ammah dipandang penting dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi tunggal terhadap wujud dan makna kepentingan umum dalam konteks pembangunan. Dengan maslahah ‘ammah berarti masyarakat telah merealisasikan tujuan syariat.

Ruang Lingkup

Maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa'ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindari kerusakan).

Maslahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.

Dalam kitab Al-Mustashfa I: 284-286 ditegaskan bahwa maslahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan nanfaat dan penolakan bahaya. Maksudnya adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara'). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu agar hukum memproteksi jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala indakan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka, segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum di atas itu disebut "maslahah". Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah".

Maslahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan khusus (perorangan). Adapun sesuatu yang membawa manfaat dan meniadakan madharat hanya menguntungkan ltau untuk kepentingan pihak-pihak tertentu bukanlah termasuk maslahah ‘ammah.

Maslahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar. Maslahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak wahmiyah (hipotesis). Karena itu, untuk menentukan maslahah ‘ammah harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah dan ditetapkan secara bersama-sama.   

Maslahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur' an, hadis, ijma' dan qiyas. Karena itu, setiap kebijakan yang diambil dengan dalih untuk kepentingan umum tetapi bertentangan dengan landasan tersebut di atas harus ditolak.
 Syariat Islam sangat memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi acuan bagi pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan umun mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit dan tidak bertentangan dengar syariat Islam (Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas). Maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan yang bermuara pada prinsip keadilan kemerdekaan dan kesetaraan manusia di depan hukum.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami utus engkau (Muhammad), hanya untuk memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, peranan warga masyarakat, warga bangsa dan lembaga keagamaan menjadi sangat menentukan dalam proses perumusan apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum. Dalam hubungan ini, maka prinsip syura sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an: wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka) menjadi sangat strategis.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

”... dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di internal mereka sendiri.” (QS. Al-Syura: 38)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang latar belakang agama masyarakatnya berbeda-beda, umat Islam seharusnya rnampu mengartikulasikan prinsip-prinsip kemaslahatan yang digariskan oleh ajaran agamanya dalam bahasa seka1igus menurut argumentasi masyarakat. Dengan demikian maka prinsip-prinsip keagamaan yang pada mulanya (dianggap) bersifat terbatas bisa menjadi milik bersama, milik masyarakat, bangsa dan umat manusia.

Jika proses syura, di mana kemaslahatan umum ditentukan, harus melalui lembaga perwakilan, maka secara sungguh-sungguh harus diperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Orang-orang yang duduk di dalamnya benar-benar menghayati aspirasi kernaslahatan umum dari segenap rakyat yang diwakilinya, terutama lapisan dlu'ala' dan mustadh'afin.

b. Untuk mengkondisikan komitmen moral dan politik orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan seperti tersebut di atas, perlu pola rekruitmen yang memastikan mereka datang dari rakyat dan ditunjuk oleh rakyat dan bekerja/bersuara untuk kepentingan rakyat.

c. Secara struktural, lembaga perwakilan tempat persoalan bersama dimusyawarahkan dan diputuskan, benar-benar bebas dari pengaruh ataupun tekanan pihak manapun yang dapat mengganggu tegaknya prinsip kemaslahatan bagi rakyat banyak.

Kemaslahatan umum yang telah dituangkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat (majlis istisyari) merupakan acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah sebagai pelaksana secara jujur dan konsekuen. Prinsip tasharuful imam, manutun bil maslahah harus dipahami sebagai prinsip keterikatan imam dalam setiap jenjang pemerintahan terhadap kemaslahatan yang telah disepakati bersama.

تَصَرُّفُ اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌا بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan penguasa terhadap rakyat harus terarah untuk mencapai kemaslahatan.”

Menurut Imam Syafi'i, posisi penguasa terhadap rakyat, itu laksana kedudukan wali (pelindung) terhadap anak yatim. (Asybah wan Nadla’ir: 82)

Sementara itu rakyat secara keseluruhan, dari mana kemaslahatan ditujukkan dan untuk siapa kemaslahatan harus diwujudkan, wajib memberikan dukungan yang positif dan sekaligus kontrol yang kritis secara berkelanjutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus (legislatif), lembaga pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutif), maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum (judikatif).

Dalam mewujudkan maslahah ‘ammah harus diupayakan agar tidak menimbulkan kerugian orang lain atau sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang mungkin timbul (la dlarara wala dlirar), karena "upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan maslahah".

دَرْأُ الْمَفََاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

 Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:


فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ 

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً  

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.