Selasa, 08 November 2011

Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah?

Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath'u (persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta' atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi.
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi).
Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan daasr suat An-Nisa' ayat 24:
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).
Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuan-perempuan dengan sistem kontrak waktu.
Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal).
Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani 'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224.
Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71)
Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar'iyyah II/7)
Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.”
Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut'ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.

Ahlussunnah wal Jamaah di Bumi Nusantara

Secara geografis Nusantara –di mana Indonesia sebagai bagian darinya--merupakan wilayah strategis baik secara ekonomi dan politik serta pertahanan, karena posisinya pada perlintasan budaya antar benua. Dengan posisinya yang strategis itulah Nusantara menjadi perlintasan agama yang sangat penting. Kawasan ini mengalami perubahan budaya dan agama yang beruntun namun berjalan cukup damai.

Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara.

Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.

Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya.

Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya.

Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada.

Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat.

Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat.

Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi.

Sebenarnya kekuatan Islam Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas.

Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon (Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar (Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan mampu menentukan masa depan bangsa ini.

Mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini.

Fasal tentang Maslahah ‘Ammah/ Kepentingan Umum

Diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. AI-Nahl: 64)

Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan syariat.

Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara'.

Penggunaan maslahah ‘ammah sebagai tolok ukur dan pertimbangan untuk menetapkan suatu kebijaksanaan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan penggunaan maslahah ‘ammah tidak pada tempatnya, seperti untuk menuruti hawa nafsu, kesewenang-wenangan dan menuruti kepentingan pribadi atau ke1ompok tertentu dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum.

Dengan menggunakan maslahah ‘ammah sebagai pertimbangan untuk menetapkan setiap kebijakan, maka setiap kebijakan yang ditetapkan tidak akan menimbulkan kerugian atau menyalahi kepentingan umat manusia secara luas.

Masalah

Dalam suasana pembangunan yang berkembang sangat dinamik dewasa ini, selalu ditemukan istilah ‘kepentingan umum’. Meskipun disadari bahwa tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat luas dan dilakukan dengan sebanyak mungkin menyediakan sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum, diakui atau tidak, ternyata dalam pelaksanaan pembangunan, batasan untuk kepentingan umum ini sering menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya.

Kepentingan umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut ‘selera’ sebagian kedl kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi oleh masyarakat.

Kenyataan yang demikian membawa akibat dan dampak negatif dalam pembangunan. Pemakaian alasan "untuk kepentingan umum" tanpa berpedoman pada maslahah ‘ammah yang dibenarkan oleh syara' akan melahirkan bentuk penyimpangan terhadap hukum syariat dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat lemah oleh golongan masyarakat yang kuat.

فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Maka tegakkanlah hukum di antara manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan menjerumuskan Anda pada k£sesatan, jauh dari jalan Allah. "(QS. Shad: 26)

فَأَمَّا مَن طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

Maka siapa saja yang bertindak tirani dan memilih kehidupan dunia, maka neraka jahim layak untuk menjadi tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 27-28)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ

Andaikan kebenaran mengikuti keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS Al-Mukminun: 71)

Kedudukan maslahah ‘ammah sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebajikan perlu diaktualisasikan sebagai landasan untuk menyikapi masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Penggunaan maslahah ‘ammah dirasakan sudah menjadi kebutuhan untuk memperkaya dan melengkapi landasan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan dari berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan dalih kepentingan umum –khususnya dalam pelaksanaan pembangunan yang sering terjadi selama ini.

Untuk menghindari kemudharatan dan dampak negatif pembangunan, maka maslahah ‘ammah dipandang penting dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi tunggal terhadap wujud dan makna kepentingan umum dalam konteks pembangunan. Dengan maslahah ‘ammah berarti masyarakat telah merealisasikan tujuan syariat.

Ruang Lingkup

Maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa'ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindari kerusakan).

Maslahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.

Dalam kitab Al-Mustashfa I: 284-286 ditegaskan bahwa maslahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan nanfaat dan penolakan bahaya. Maksudnya adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara'). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu agar hukum memproteksi jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala indakan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka, segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum di atas itu disebut "maslahah". Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah".

Maslahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan khusus (perorangan). Adapun sesuatu yang membawa manfaat dan meniadakan madharat hanya menguntungkan ltau untuk kepentingan pihak-pihak tertentu bukanlah termasuk maslahah ‘ammah.

Maslahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar. Maslahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak wahmiyah (hipotesis). Karena itu, untuk menentukan maslahah ‘ammah harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah dan ditetapkan secara bersama-sama.   

Maslahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur' an, hadis, ijma' dan qiyas. Karena itu, setiap kebijakan yang diambil dengan dalih untuk kepentingan umum tetapi bertentangan dengan landasan tersebut di atas harus ditolak.
 Syariat Islam sangat memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi acuan bagi pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan umun mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit dan tidak bertentangan dengar syariat Islam (Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas). Maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan yang bermuara pada prinsip keadilan kemerdekaan dan kesetaraan manusia di depan hukum.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami utus engkau (Muhammad), hanya untuk memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, peranan warga masyarakat, warga bangsa dan lembaga keagamaan menjadi sangat menentukan dalam proses perumusan apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum. Dalam hubungan ini, maka prinsip syura sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an: wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka) menjadi sangat strategis.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

”... dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di internal mereka sendiri.” (QS. Al-Syura: 38)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang latar belakang agama masyarakatnya berbeda-beda, umat Islam seharusnya rnampu mengartikulasikan prinsip-prinsip kemaslahatan yang digariskan oleh ajaran agamanya dalam bahasa seka1igus menurut argumentasi masyarakat. Dengan demikian maka prinsip-prinsip keagamaan yang pada mulanya (dianggap) bersifat terbatas bisa menjadi milik bersama, milik masyarakat, bangsa dan umat manusia.

Jika proses syura, di mana kemaslahatan umum ditentukan, harus melalui lembaga perwakilan, maka secara sungguh-sungguh harus diperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Orang-orang yang duduk di dalamnya benar-benar menghayati aspirasi kernaslahatan umum dari segenap rakyat yang diwakilinya, terutama lapisan dlu'ala' dan mustadh'afin.

b. Untuk mengkondisikan komitmen moral dan politik orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan seperti tersebut di atas, perlu pola rekruitmen yang memastikan mereka datang dari rakyat dan ditunjuk oleh rakyat dan bekerja/bersuara untuk kepentingan rakyat.

c. Secara struktural, lembaga perwakilan tempat persoalan bersama dimusyawarahkan dan diputuskan, benar-benar bebas dari pengaruh ataupun tekanan pihak manapun yang dapat mengganggu tegaknya prinsip kemaslahatan bagi rakyat banyak.

Kemaslahatan umum yang telah dituangkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat (majlis istisyari) merupakan acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah sebagai pelaksana secara jujur dan konsekuen. Prinsip tasharuful imam, manutun bil maslahah harus dipahami sebagai prinsip keterikatan imam dalam setiap jenjang pemerintahan terhadap kemaslahatan yang telah disepakati bersama.

تَصَرُّفُ اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌا بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan penguasa terhadap rakyat harus terarah untuk mencapai kemaslahatan.”

Menurut Imam Syafi'i, posisi penguasa terhadap rakyat, itu laksana kedudukan wali (pelindung) terhadap anak yatim. (Asybah wan Nadla’ir: 82)

Sementara itu rakyat secara keseluruhan, dari mana kemaslahatan ditujukkan dan untuk siapa kemaslahatan harus diwujudkan, wajib memberikan dukungan yang positif dan sekaligus kontrol yang kritis secara berkelanjutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus (legislatif), lembaga pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutif), maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum (judikatif).

Dalam mewujudkan maslahah ‘ammah harus diupayakan agar tidak menimbulkan kerugian orang lain atau sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang mungkin timbul (la dlarara wala dlirar), karena "upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan maslahah".

دَرْأُ الْمَفََاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

 Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:


فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ 

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً  

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

EKSISTENSI NEGARA : MENEGAKKAN KEADILAN - MENOLAK KEZALIMAN

Al-Ghazâlî, Hujjah al-Islâm, sang argumentator Islam, menulis dalam bukunya: ’al-Tibr al-Masbuk fî Nashîhah al-Mulûk’ bahwa “Sejarah dunia telah mencatat bahwa bangsa Majusi yang menyembah api di Persia pernah menguasai dunia, empat ribu tahun lamanya. “Mengapa bisa begitu lama bertahan?”, kata al-Ghazâlî dalam hatinya. Lalu al-Ghazâlî menjawab sendiri pertanyaannya: “Karena bangsa itu [Majusi] diperintah dan dipimpin oleh tangan-tangan yang adil dan orang-orang yang bekerja untuk kesejahteraan bangsanya, rakyatnya. Agama menurut mereka tidak membenarkan kezaliman dan penyimpangan”.
 
Secara tekstual kata-kata Imam al-Ghazali tersebut begini :
 
وفى التواريخ أن المجوس ملكوا امر العالم اربعة آلاف سنة . وكانت المملكة فيهم. وإنما دامت المملكة بعدلهم فى الرعية وحفظهم الامور بالسوية. وانهم ما كانوا يرون الظلم والجور فى دينهم وملتهم جائزا. وعمروا بعدلهم البلاد وانصفوا العباد. وقد جاء فى الخبر أن الله جل ذكره اوحى الى داود عليه السلام ان أنهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادى .(الامام الغزالى: التبر المسبوك فى نصيحة الملوك, مكتبة الكليات الازهرية, ص 50).
 
Sebelumnya al-Ghazali mengutip firman Allah :
 
قل اللهم مالك الملك تؤتى الملك من تشاء  وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير. (آل عمران , 26).
 
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (kekuasaan), Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali Imran, [3.26].
 
Hujjah al-Islâm itu tampak sekali bermaksud ingin menegaskan kembali mutiara agama yang dilupakan, bahwa “keadilan adalah kunci sukses sebuah negara-bangsa dan kezhaliman menjadi sumber kehancurannya”. Siapapun penguasa atau pemimpinnya, tidak peduli apa agamanya, apa suku bangsanya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya dan siapapun keturunannya, asalkan dia cakap dan mampu bertindak adil dan membenci kezaliman, menyejahterakaan rakyatnya dan bukan menyengsarakannya, maka negara dan rakyatnya akan berjaya dan makmur. Sebaliknya, siapapun penguasanya, agama apapun dia, dari suku manapun dia, dan jenis kelamin apapun, jika memimpin dengan cara-cara despotis, membiarkan kezaliman dan mengeksploitasi masyarakatnya, maka dia akan menciptakan kebangkrutan, kehancuran negara dan kesengsaraan rakyat. Al-Ghazâlî mengutip wahyu Tuhan untuk Nabi Dâwud: “laranglah kaummu mencacimaki orang asing. Mereka ikut memakmurkan dunia dan menyejahterakan hamba-hamba-Ku”.
 
Apa yang dimaksud “orang-orang asing” (al-‘ajam/the others) bisa berarti bangsa asing dan bisa orang-orang non muslim. Al-Mâwardi, ahli politik Islam klasik paling terkemuka, dalam salah satu kitabnya, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn mengatakan dengan tegas bahwa: “Jika keadilan adalah salah satu pilar dunia dan dunia tidak akan mungkin tegak tanpanya, maka hendaklah masing-masing orang memulai untuk bertindak adil”. Mengutip kata-kata orang bijak (al-hukamâ), al-Mâwardi kemudian mengatakan: Al-Mulku yabqa ma’a al ‘adl wa lâ yabqâ ’alâ al-zhulm” (negara akan eksis bersama keadilan dan tidak akan eksis bersama kezaliman). (Adab al-Dunyâ, 142).
 
Adalah menarik untuk dicermati bersama bahwa Kiai Sahal Mahfûdh, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam salah satu tulisannya tampak sekali mendukung pernyataan Al-Mâwardi tersebut. Katanya :”Muara fiqh adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata :”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin”. Kiyai Sahal yang sangat alim dan rendah hati itu juga mengutip pandangan Ibnu Taimiyah. Katanya: “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim, meskipun (negara) Muslim”. Maka, “dalam kerangka berfikir ini”, kata Kiai Sahal lebih jauh, “seandainya ada produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat, maka harus ditinggalkan”. (Lihat: Kritik Nalar Fiqh NU, hlm. xxii).
 
Al-Ghazâlî, al-Mâwardi, Ibnu Taimiyah adalah tokoh-tokoh besar yang sangat diakui di dunia Islam berabad-abad bahkan sampai hari ini, dan Kiyai Sahal, di samping pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama (NU) adalah juga ketua Umum MUI dua periode. Semua tokoh ini tidak bicara soal keyakinan orang. Mereka sangat paham bahwa keyakinan orang menjadi wilayah kekuasaan dan kehendak Tuhan saja. Manusia hanya bisa menilai tindakan-tindakan manusia. Dan fiqh (hukum) mengatur tindakan-tindakan orang  dewasa (af’al al-mukallafin). Mereka sesungguhnya tengah bicara tentang realitas sosial-politik-ekonomi yang diamati dan direnungkannya. Mungkin taushiyah mereka menjadi penting untuk kita di sini saat ini.
 Keadilan adalah kunci sukses sebuah negara-bangsa dan kezhaliman menjadi sumber kehancurannya". Siapapun penguasa atau pemimpinnya, tidak peduli apa agamanya, apa suku bangsanya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya dan siapapun keturunannya, asalkan dia cakap dan mampu bertindak adil dan membenci kezaliman, menyejahterakaan rakyatnya dan bukan menyengsarakannya, maka negara dan rakyatnya akan berjaya dan makmur.

Mengapa Perlu Bertariqah ?



Tanya Jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang terhormat, apakah setiap muslim lebih baik menjadi jama'ah thariqah? Apakah, dengan cara menjadi jama'ah thariqah, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamal-kan tuntunan agama, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan seorang mursyid? Demikian pertanyaan dan saya. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Busman Ependi Lamongan, Jawa Timur

Wa alaikumussalam wr. wb.
Dalam Al-Quran ada ayat yang artinya, "Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat inl turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, bilamana aku menjadi mukmin sesungguhnya?

Baginda Nabi SAW menjawab, "Apa-bila engkau mencintai Allah. Mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang di-cintai Allah dan Rasul-Nya. Dan keimanan mereka itu bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW mengulangi kalimat yang terakhir sampai tiga kali. Lalu beliau kembali bersabda, "Kadar bobot iman se¬seorang tergantung pada kecintaannya kepadaku. Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenci-annya kepadaku."

Jadi, kalau kecintaannya kepada Rasulullah SAW bertambah, kecintaan dan keimananya kepada Allah SWT pun akan ber¬tambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya.
Demikianlah Allah SWT mengajarkan kepada kita cara mencintaiNya. Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bias dipisahkan. Kalau seseorang mencin¬tai Allah, la juga mencintai Nabi-Nya. la akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintaj Rasul-Nya.

Siapakah orang-orang yang dicintai Rasul-Nya? Tidak lain adalah para pewaris
nya, yaitupara ulama, orang-orang shalih, termasuk para mursyid. Merekalah yang senantiasa menapaki jejak Rasulullah SAW, mengikuti sunnah-sunnahnya.

Sementara itu, keimanan terbentuk secara terbimbing. Nah, di situlah peran para mursyid. Melalui bimbingannya, kita meningkatkan tauhid dan ma'rifat kita kepada Allah SWT.

Lalu, bagaimana dengan orangyang tidakberthariqah? Sebelumnya, perlu di-ketahui bahwa orang yang ingin bertha-riqah, teriebih dahulu harus memahami syari'at dan mefaksanakannya. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dipahaminya. Di antaranya, memahami hak Allah SWT dan hak para rasul.

Setelah mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang di-sampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bag! yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui arkanui iman (rukun Iman) serta beberapa tuntunan Islam lalnnya, seperti shalat, wudhu', dan Iain-Iain.

Namun Anda harus tahu, orangyang menempuh jalan kepada Allah SWT secara sendirian tentu berbeda dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah SWTbersama-sama dengan orang lain, yaitu mursyid.

Kalau mau menuju Makkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tem-pat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekalikedua tempatitu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuan-nya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai pembimbing akan lebih runtut dan sempurna, karena si pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun Yamani, sumur zamzam, maqam Ibrahim, dan Iain-Iain. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, kalau tidak tahu rukun zamani, la tidak akan mampu memulai thawaf, karena tidak tahu bagaimana memulai-nya. Itulah perbedaannya.


Menurut riwayat Muhammad ibnu Abdul Wahhab ini dilahirkan di perkampungan `Uyainah dibagian selatan kota Najd (Saudi Arabia) tahun 1703 masehi dan wafat tahun 1792 masehi, ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran Ibnu Taimiyyah. Pengikut akidah dia ini dikenal sekarang dengan nama ‘golongan Wahabi atau dikenal juga dengan Salafi ’. Nama Wahabi atau al-Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama pendiri- nya yaitu Muhammad `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan golongan/madzhab al-Muhammadiyyah tidak lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad saw. dengan pengikut madzhab mereka, dan juga bertujuan untuk menghalangi segala bentuk eksploitasi (istighlal). Penganut Wahabi sendiri menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahabi dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) atau madzhab Salafus-Sholeh atau Salafi (pengikut kaum Salaf) karena mereka menurut pendapatnya ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah saw.

Menurut ulama Muhammad Ibnu Abdul Wahhab ini amat mahir didalam mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan sebutan Syeikhul Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua telah banyak dikecam oleh ulama-ulama pakar karena kebatilan akidah dan pahamnya itu. Pada masanya keyakinan madzhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal rh) untuk pertama kali didalam sejarahnya mencapai kemuliaan dan kebesarannya, yang mana pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh keberhasilan yang besar.

Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena golongan Asy'ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Imam Ahmad bin Hanbal. Muhamad Ibnu Abdul Wahhab mempunyai akidah atau keyakinan bahwa tauhid itu terbagi dua macam yaitu; Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam.

Dia berkata: “Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah swt. sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur”. Dia dengan berdalil firman-firman Allah swt. berikut ini:  “Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihat an, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (S.Yunus [10];31).  “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar)” (S. Al ‘Ankabut [29]; 61)

Selanjutnya Ibnu Abdul Wahhab berkata: Jika telah terbukti bagi Anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda yang mengatakan "Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda seorang Muslim sampai anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan mengikuti/disertai melaksanakan artinya." (Fi ‘Aqaid al-Islam, Muhmmad bin Abdul Wahhab, hal. 38) .


Dengan pemahaman Muhammad Abdul Wahhab yang sederhana dan salah mengenai ayat-ayat Allah swt. ini dia mudah mengkafirkan masyarakat muslim dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang musyrik zaman kita yaitu orang-orang Muslim lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik zaman dahulu (yang pertama), mereka hanya menyekutukan Allah disaat lapang, sementara disaat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)." (Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4)

Dia juga mengatakan setiap orang yang bertawassul kepada Rasulallah saw. dan para Ahlul-Baitnya (keluarganya), atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar dari pada kemusyrikan para penyembah Lata, 'Uzza, Mana dan Hubal. Dibawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang tidak berdosa dan merampas harta benda mereka, pedoman yang sering mereka kumandangkan ialah: “Masuklah ke dalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi janda, dan anak Anda menjadi yatim”. Dapat dibaca dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibnu Taimiyyah bahwa dia menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulallah saw. sebagai hadits mawdu` (palsu).

Dia juga turut menjelaskan ‘orang yang berpegang kepada akidah bahwa Nabi saw. masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup, dia telah melakukan dosa yang besar’. Inilah juga yang sering di-iktiqadkan oleh Muhamad Abdul Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan kebatilan mengenai masalah tersebut. Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama

Sekte Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pemilik ajaran Tauhid yang bermula dari pendirinya, Muhamad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akhirnya mereka tidak mengakui konsep Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin selain sekte Wahabi dan pengikutnya. Kini kita akan melihat beberapa teks yang dapat menjadi bukti atas pengkafiran Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sekte- nya.

Kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita . Beberapa ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab berikut ini yang berkaitan dengan dakwaannya atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan menganggap selain apa yang dipahami sebagai kebatilan yang harus diperangi:  “…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha Illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti Laailaaha Illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (anugerah kepada Muhamad bin Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51) Dengan ungkapannya itu Muhamad Abdul Wahhab mengaku hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid dari kalimat Laailaaha Illallah dan telah mengenal Islam dengan sempurna. Dia menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari mazhab Hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsep Tauhid dan Islam –ala versinya- telah melakukan penyebaran ajaran batil, ajaran yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.  ‘Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin Lahyi yang dibuat untuk di ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr adalah agama yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51)

Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa: “ Ia adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dahulu ia pernah bepergian ke Syam. Di sana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu ia bertanya dan lantas dijawab: ‘Berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan maka merekalah yang menganugerah- kannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Lantas Amr bin Lahy berkata kepada mereka: ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’. Kemudian ia mengambil patung terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Lantas ia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 halaman 79)

Dengan demikian Muhamad bin Abdul Wahhab telah menyamakan para ulama Islam selain dia dan pengikutnya dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik dan menuduh para ulama mengajarkan ajaran syirik serta para pengikut- nya sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh ulama-ulama Islam itu. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong sesat karena tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Tidak lain karena, para ulama Islam selain sekte Wahabi meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dsb.nya

Kebangkitan Islam dapat dilihat dari pelbagai sudut terutamanya, dalam sudut penggurusan negara Islam). harta, penubuhan syarikat-syarikat Islam, pertubuhan-pertubuhan Islam, penerbitan buku-buku yang membincangkan tentang pengharaman sistem riba dan sebagainya, di kebanyakan tempat (terutamanya di negara-negara Islam).
Suatu khabar gembira yang lebih bernilai ialah, kebangkitan Islam dari sudut ilmiah, iaitu, perbincangan mengenai “Seruan untuk Kembali kepada Sunnah Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam)”. Begitu banyak sekali buku-buku yang diterbitkan mengenai Hadis-hadis Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam) yang terkenal mahupun yang tidak terkenal.

Kebanyakan daripada buku-buku mengenai Hadis-hadis Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam) tersebut, tidak disyarah dan jelaskan oleh ulama’-ulama’ ahli fiqh, secara terperinci mengenainya. Oleh yang demikian, hal ini menyebabkan sebahagian pembaca yang tidak mempunyai bekalan ilmu fiqh yang mantap, ataupun yang tidak belajar dari ulama’-ulama’ terlebih dahulu, akan terkeliru dan seterusnya. pemahamannya akan bercanggah dengan maksud sebenar Hadis-hadis yang dibacanya. Kemungkinan besar juga, si pembaca tersebut akan terdorong untuk mengamalkan seluruh Hadis-hadis yang dinilai sebagai Hadis-hadis Sahih oleh segolongan ahli Hadis (tanpa menilai adakah hadis-hadis itu digunakan atau tidak oleh ulama’-ulama’).
Kemungkinan juga, si pembaca yang cetek ilmu tersebut, akan berkata kepada dirinya: “kami beramal dengan hadis ini untuk satu ketika, dan satu ketika yang lain, ditinggalkan hadis ini (tidak beramal dengan Hadis tersebut)”. Si pembaca yang kurang ilmunya itu tidak bertanya terlebih dahulu kepada ulama’-ulama’ yang khusus dalam bidang syariah yang masih hidup, mahupun membaca ulasan-ulasan pada buku-buku karangan ulama’-ulama’ Muktabar yang telah tiada, mengenai Hadis-hadis yang dibacanya. sepertiFathul Bari karangan Imam Ibn Hajar Al-Asqalani,Syar Sahih Muslimoleh Imam An-Nawawi, dan sebagainya.
Dia juga tidak mempelajari tentang ilmuAl-Arjah (Hadis-hadis yang paling kuat untuk digunakan dalam berhujah pada masalah syariat), tidak mengetahui yang mana hadis yang diriwayatkan terlebih dahulu dan yang mana yang diriwayatkan kemudian, yang mana hadis yang khusus dan yang mana hadis yang diriwayatkan khas untuk keadaaan tertentu, yang mana ilmu-ilmu tersebut amat penting dalam memahami dan mengkaji maksud sesuatu hadis.

Kadang-kadang pembaca buku-buku Hadis, yang kurang ilmunya, apabila telah jelas sesuatu hadis, dia menyangka bahawa Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam) kadang-kadang terlupa apa yang pernah Baginda (sallallahu’alaihi wasallam) pernah sabdakan, kemudian menukar perkataan Baginda (sallallahu’alaihi wasallam) yang berlainan dengan kata-kata Baginda (sallallahu’alaihi wasallam) sebelum itu, walaupun pada hakikatnya, Baginda (sallallahu’alaihi wasallam) seorang yang Ma’shum (tidak berdosa dan melakukan kesalahan). Allah s.w.t. juga pernah berfirman: ((Kami akan bacakan (beri wahyu) kepadaMu (Hai Muhammad), maka janganlah Kamu melupainya )).

Maka, para penuntut ilmu yang ingin mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w. melalui hadis-hadis Baginda s.a.w. yang diriwatkan oleh para ulama’ hadis dalam kitab-kitabnya, perlu juga merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang dikarang oleh ulama’-ulama’ fiqh. Ini kerana, didalamnya terdapat adunan adunan daripada hadis-hadis Rasulullah s.a.w. dalam bentuk praktikal yang dikenali sebagaiilmu fiqh.
Seperti yang dapat dilihat dari kaca mata sejarah, sebahagian ulama’-ulama’ hadis yang agung di zaman salaf yang soleh juga, amat menghormati dan memuliakan ulama’-ulama’ Fiqh yang mahir dalam bidang Hadis juga, yang Allah pelihara mereka daripada bercanggah dengan Hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam). Bahkan, mereka turut mempelajari makna-makna hadis yang mereka riwayatkan daripada ulama-ulama fiqh yang muktabar.

Abdullah bin Mubarak (seorang ulama’ Hadis dari Khurasan) r.h.l. pernah berkata: “Jika Allah s.w.t. tidak membantu saya dengan perantaraan Abu Hanifah dan Sufian (dua ulama’ Fiqh), nescaya aku sama sahaja seperti orang awam (yang tidak memahami Hadis-hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam) “.

Sufian bin ‘Uyainah r.h.l. pernah berkata: “Orang yang pertama membantu saya dalam memahami hadis dan menjadikan saya seorang ahli Hadis ialah Imam Abu Hanifah(seorang ulama’ fiqh)”

Abdulla bin Wahab r.h.l. (seorang ahli hadis juga sahabat Imam Malik r.h.l.) juga pernah berkata: “saya telah berjumpa dengan tiga ratus enam puluh ulama’, (bagi saya) tanpa Imam Malik dan Imam Laith r.h.l (ulama’-ulama’ Fiqh), nescaya saya akan sesat dalam ilmu.”

Beliau juga diriwayatkan pernah berkata: “Kami mengikuti empat orang ini dalam ilmu, duanya di Mesir dan dua orang lagi di Madinah. Imam Al-Laith bin Sa’ad dan Amr bin Al-Harith di Mesir, dan dua orang lagi di Madinah ialah Imam Malik dan Al-Majishun. Jika tidak kerana mereka, nescaya kami akan sesat.”

Imam Al-Kauthari r.h.l. berkata di dalam kitab Al-Intiqa’ karangan Ibn Abdil Bar, telah berkata Abdullah bin Wahab (dari sanad Ibn ‘Asakir): “Jika tiada Imam Malik bin Anas dan Imam Al-Laith Sa’ad, nescaya saya akan binasa. Dulu, saya menyangka setiap yang datang dari Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam) (As-Sunnah dan Al-Hadis), perlu diamalkan“.
Maksud kesesatan dalam perkataan beliau ialah: percanggahan dengan maksud Hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam). Kemudian, Imam Al-Kauthari mengulas: “Kesesatan yang dimaksudkan sepertimana berlaku pada kebanyakan manusia yang jauh dari ilmu Fiqh dan tidak dapat membezakan tentang hadis yang diamalkan dan selainnya.

Al-Qodhi ‘Iyadh r.h.l. meriwayatkan, Ibn Wahab r.h.l. juga pernah berkata: “Andai Allah s.w.t. tidak menyelamatkan saya dari kesesatan melalui Imam Malik dan Al-Laith r.h.l., nescaya saya akan sesat.” Beliau ditanya: “Mengapa begitu?” Beliau menjawab: ” Saya telah menghafal banyak hadis-hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam), sehingga timbul pelbagai persoalan. Kemudian, saya pergi ke Imam Malik dan Al-Laith untuk bertanya mengenainya, maka mereka berkata kepada saya: “Hadis ini kamu amalkan dan ambil ia sebagai hujah, dan hadis yang ini pula kamu tinggalkan (tidak perlu menggunakannya).

Sufian bin ‘Uyainah pernah berkata: “Hadis itu menyesatkan kecuali kepada Al-Fuqoha’ (ulama’ ahli Fiqh). Kadangkala, suatu hadis itu tidak boleh dipegang secara zahir sahaja, malah ada ta’wilannya. Kadangkala, sesuatu Hadis itu pula ada maksud yang tersembunyi. Ada juga Hadis yang perlu ditinggalkan dengan sebab-sebab tertentu, yang mana, semua itu hanya diketahui oleh orang yang mahir dan berilmu luas khususnya dalam Fiqh (kefahaman).

Ibn Rusyd r.h.l. pernah ditanya tentang kata-kata: “Hadis itu menyesatkan kecuali bagi ahli Fiqh”. Beliau ditanya lagi: “Bukankah seorang ahli Fiqh itu juga perlu tahu mengenai Hadis terlebih dahulu.?!” Beliau menjawab: “Kata-kata itu bukanlah dari Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam), ia merupakan kata-kata Ibn ‘Uyainah r.h.l. dan ahli-ahli Fiqh yang lain. Maksud kata-kata itu tepat, kerana kadangkala, sesuatu hadis itu diriwayatkan dalam sesuatu keadaaan yang khusus, tetapi maknanya umum, begitu juga sebaliknya. Ada juga Hadis yang Nasikh dan Hadis yang Mansukh (tidak digunakan lagi). Kadangkala pula, ada hadis yang secara zahirnya seolah-olah menyerupakan Allah dengan makhluk (Tasybih). Ada juga hadis yang maksudnya hanya diketahui oleh para ahli Fiqh sahaja. Barangsiapa yang hanya mengumpul hadis tetapi tidak memahaminya tidak dapat membezakan antara hadis yang maksudnya umum atau khusus. Oleh kerana itu, ahli Fiqh (Faqih) itu bukanlah orang yang sekadar mengetahui tentang Hadis-hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam) sahaja, bahkan memahaminya secara mendalam. Jika seseorang itu tdak mampu memahami secara mendalam dalam masalah hadis mahupun Fiqh, maka dia bukanlah seorang ahli Fiqh (Faqih), walaupun dia mengumpul banyak Hadis-hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam). Inilah sebenarnya maksud kata-kata Sufian bin ‘Uyainah.

Abdullah bin Mubarak r.h.l. pernah berkata mengenai fiqh Imam Abu Hanifah r.h.l.: “Jangan kamu katakan fiqh ini (mazhab Imam Abu Hanifah) merupakan pendapat beliau, tetapi katakanlah, ia (mazhab Abu Hanifah) merupakan tafsiran bagi hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam).
Sebahagian orang, hanya membaca matan-matan hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam) sahaja, tanpa menghiraukan ulasan-ulasan ahli-ahli Fiqh yang bergiat secara khusus dalam mengkaji hadis-hadis tersebut, mengenai hadis-hadis tersebut.. Mereka berfatwa dan mengemukakan hadis-hadis yang diragui kesahihannya disisi Imam-imam terdahulu yang ‘Alim, dalam masalah hukum dan percakapan mereka.

Kadangkala, mereka menolak ulasan-ulasan ulama’-ulama’ yang ‘Alim, mengenai kedudukan hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam), dan bersangka buruk pula kepada ulama’-ulama’ tersebut. Ada dikalangan mereka pula, yang melemparkan tohmahan yang buruk keatas ulama’-ulama’ muktabar tersebut serta pengikut-pengikut mereka dan mengatakan bahawa mereka (ulama’-ulama’ terdahulu dan pengikut-pengikutnya) jahil tentang hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam). Amat buruklah tohmahan mereka itu!
Imam Ahmad bin Hanbal r.h.l. pernah bekata (seperti yang diriwayatkan oleh anaknya Soleh r.h.l.): “seseorang yang ingin memberi fatwa perlulah terlebih dahulu memahami keseluruhan Al-Qur’an, mengetahui sanad-sanad hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam) dan mengetahui Sunnah-sunnah.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal r.h.l. berkata, “saya pernah bertanya kepada ayah saya (Ahmad bin Hanbal r.h.l.), tentang seorang pemuda yang memiliki banyak kitab-kitab mengenai hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam) dan himpunan kata-kata paa sahabat r.a. dan para tabi’in r.h.l., tetapi tidak mengetahui tentang kedudukan sesuatu hadis tersebut samada sahih atau sebaliknya, adakah dia boleh beramal sesuka hatinya? Ataupun, adakah dia layak memilih hadis mana yang dia mahu gunakan, dan memberi fatwa atau beramal dengannya? Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Tidak! Sehinggalah dia bertanya kepada ulama’ mengenai hadis mana yang boleh digunakan. Kemudian, barulah dia boleh beramal dengannya (hadis yang disahkan kesahihannya oleh ulama’ yang ditanya mengenainya).

Imam As-Syafi’e r.h.l. pernah menegaskan: “Seseorang tidak boleh memberi fatwa dalam agama Allah kecuali dia mengetahui keseluruhan Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya seperti nasikh dan mansukh, ayat muhkam dan mutasyabih, ta’wil dan tanzil, ayat makkiyah atau madaniyyah. Dia juga perlu mengetahui tentang hadis-hadis Nabi (sallallahu’alaihi wasallam), serta ilmu-limunya (‘ulumul hadis) seperti nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Setelah itu, dia juga pelu menguasai Bahasa Arab, Sya’ir-sya’ir Arab, dan sastea-sasteranya (kerana Al-Qur’an dan Hadis dalam Bahasa Arab dan mengandungi kesasteraannya. Setelah itu, dia juga pelu mengetahui perbezaan Bahasa Arab di kalagan setiap ahli masyarakat Arab. Jika dia sudah menguasai keseluruhan pekara-perkara tersebut, barulah dia layak memberi fatwa mengenai halal dan haram. Jika tidak, dia tidak layak untuk memberi fatwa.

Khalaf bin Umar r.h.l. telah berkata: “Saya mendengar Malik bin Anas (r.h.l.) berkata: “Saya tidak pernah duduk untuk memberi fatwa sehinggalah saya bertanya terlebih dahulu kepada orang yang lebih ‘alim dari saya tentang kelayakan saya untuk berfatwa. Saya pernah bertanya terlebih dahulu kepada Rabi’ah (r.h.l.) dan Yahya bin Sa’id, sedangkan mereka menyuruh saya untuk berfatwa. Maka, saya menegaskan: “Wahai Aba Adullah, adakah tidak mengapa untuk saya berfatwa sedangkan kamu ada di sini?” Beliau menjawab: “Saya tidak layak berfatwa. Tidak layak bagi seseorang itu, menganggap dirinya layak untuk sesuatu perkara, sehinggalah dia bertanya kepada seseorang yang lebih mengetahui darinya.

Maka, jelaslah berdasarkan kata-kata ulama’-ulama’ salaf yang dinukilkan oleh Sheikh Habib Al-Kairanawi r.h.l., telah menolak pendapat orang-orang mewajibkan setiap orang untuk berijtihad. Kemungkinan, mereka tersalah faham terhadap perkataan-perkataan sesetengah ulama’ dalam karangan-karangan mereka, padahal kefahaman yang salah itu, amat bercanggah dengan kefahaman jumhur ulama’. Kemudian, golongan tersebut memperjuangkan kefahaman yang salah ini, dan mengajak seluruh umat Islam mengikuti pendapat tersebut (walaupun pada hakikatnya amat bercanggah dengan kefahaman yang sebanar). Akhirnya, tejadilah kekacauan dan pertelingkahan dikalangan umat Islam, disebabkan oleh perjuangan terhadap fahaman yang salah ini (yang mewajibkan setiap orang berijtihad). Na’uzubillah min zalik.
Salah faham ini sebenarnya membawa kepada pepecahan dikalangan penuntut-penuntut ilmu dan akhirnya membawa kepada permusuhan dan saling jauh menjauhi antara satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan terputusnya tali persaudaraan yang Allah s.w.t. menyuruh umat Islam menyambungkannya (tali persaudaraan Islam).

Kita perlulah mempelajari ilmu dari ahli ilmu yang muktabar dari sudut ilmunya, bukan sekadar membaca buku-buku imiah tanpa dibimbingi oleh seseorang guru yang alim. Ini kerana, barangsiapa yang tiada guru yang membimbingnya dalam mendalami samudera ilmu Islam dalam kitab-kitab, maka syaitanlah yang akan menjadi pembimbingnya. Bahkan, para ulama’ muktabar turut menyeru agar ilmu agama dipelajari oleh kaedah isnad, di mana kefahaman tentang agama Islam diambil dari para ulama’ yang jelas sanad ilmunya bersambung kepada Rasulullah s.a.w.
Nas-nas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bagaikan bahan mentah bagi Syariat Islam. Ia perlulah diadun dengan acuan-acuan ilmu-ilmu Islam yang lain seperti ilmuAsbabun Nuzul, Asbabul wurud, ilmu rijal, ulumul Qur’an, ulumul Hadis, usul Fiqhdan sebagainya.

Sheikhuna As-Syarif, Al-Habib Yusuf Al-Hasani h.f.l. pernah menyebut bahawa “sesiapa yang tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut, namun cuba mengamalkan hadis-hadis yang dibacanya tanpa bimbingan guru-guru yang alim, bagaikan mengambil daging mentah dari peti sejuk dan memakannya begitu sahaja. Bukankah ianya memudaratkan diri sendiri
Jika kita dikalangan orang awam, bukan ahli ilmu, maka bertanyalah kepada orang yang ‘alim, dan janganlah beijtihad sendiri terhadap nash-nash. Allah telah berfirman:
(( فسئلوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون))
Maksudnya: Bertanyalah kepada yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui (akan sesuatu perkara).
Wallahu’alam

Minggu, 06 November 2011

Melafalkan Niat Shalat Menurut Empat Madzab

Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.

Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).

Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

SILATURAHMI atau SILATURAHIM ???!!!

ada ayat al-qur'an yang menganjurkan pentingnya silaturrahim (( إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْأِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ)) (النحل:90).

وقال سبحانه وتعالى : (( فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ)) (محمد:23).adapun shilaturrohmi atau shilaturrohim mana yang benar keduanya sama-sama benar. essensinya sama yakni shilah (صلة) menyambung dan rahim (الرحيم ) jamaknya arham. Bisa dirujuk ke ilmu bahasa ada polisemi, hipernim dan hiponim. misalnya poliseninya kue, maka hipernimnya donat, kucur, jemblem dan lain-lain. odol misalnya, hipernimnya pepsodent, ritadent, dll.من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليصل رحمه man kaana yu'minu billahi wal yaumil akhir fal yashil rahimau (sesiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaklah silaturrahim) hadis riwayat bukhoriمن احب ان يـبسط له فى رزقه وينسأ له فى اثره فليصل رحمه (متفقن عليه)
Artinya: Sesiapa yang ingin dimurahkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia bersilaturrahmi
penjelasan kata ro, ha, mim (رحم )
Ada dua bacaan (1) dibaca rohm dan (2) rihm
Menurut Ibn Manzur dalam lisan al-arab jilid 12, hal. 232, makna رحم adalah kerabat dekat, adapun menurut al-Raghib adalah peranakan tempat bersemanyamnya anak.
(١) قال ابن منظور في لسان العرب ١٢ / ٢٣٢: الرحم (بفتح الراء وكسر الحاء) أسباب
القربة، وأصلها الرحم التي هي منبت الولد، وهي الرحم (بكسر الراء وسكون الحاء)
. الجوهري: الرحم القرابة، والرحم بالكسر مثله.
dari berbagai sumber kamus bahasa makna ro, ha' mim, mengandungi 22 makna
(1)
رحم:
ر ح م: الرَّحْمَةُ الرقة والتعطف و المَرْحَمَةُ مثله وقد رَحِمَهُ بالكسر رَحْمَةً و مَرْحَمَةً أيضا و تَرَحَّمَ عليه و تَرَاحَمَ القوم رَحِمَ بعضهم بعضا و الرَّحَمُوتُ من الرحمة يقال رهبوت خير من رحموت أي لأن تُرهَب خير من أن تُرحَم و الرَّحِمُ القرابة والرحم أيضا بوزن الجسم مثله و الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ اسمان مشتقان من الرحمة ونظيرهما نديم وندمان وهما بمعنى ويجوز تكرير الاسمين إذا اختلف اشتقاقهما على وجه التأكيد كما يقال فلان جاد مجد إلا أن الرحمن اسم مختص بالله تعالى ولا يجوز أن يسمى به غيره ألا ترى أنه سبحانه وتعالى قال {قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن} فعادل به الاسم الذي لا يشركه فيه غيره وكان مسيلمة الكذاب يقال له رَحْمَانُ اليمامة و الرَّحِيمُ قد يكون بمعنى المرحوم كما يكون بمعنى الراحم و الرُّحْمُ بالضمة الرحمة قال الله تعالى {وأقرب رحما} و الرُّحُمُ بضمتين مثله
المعجم: مختار الصحاح

(2)
رحم : مرحوم:
اسم مفعول من رحِمَ.
• المرحوم: الميِّت (تفاؤلاً بتمتعه برحمة الله وعفوه) "ذكرى وفاة المرحوم فلان".
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(3)
رحم : رُحْمى:
رحمة، رقَّة القلب وعطف يقتضي المغفرة والإحسان "رُحْماك ياربّ: ارحمني".
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(4)
رحم : رحِمَ يَرحَم، رَحمةً ورُحْمًا، فهو راحِم، والمفعول مَرْحوم:
• رحِم يتيمًا
رقَّ له وعطَف عليه "ضربه بلا رحمة ولا شفقة- كان يوم فتح مكة يوم الرَّحمة- ارْحَمُوا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ [حديث]- {كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ}: أوجبها على نفسه كرمًا منه وفضلاً- {وَأَقْرَبَ رُحْمًا} ".
• رحِم اللهُ فلانًا: تعطَّف عليه وأحسن إليه ورزقه " {وَإلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ} " ° رحِمه الله/ الله يرحمه: دعاء للميِّت- يرحمك الله: تشميت للعاطس.
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(5)
رحم : رُحْم:
1 - مصدر رحِمَ.
2 - علاقة القرابة وسببها " {فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا} ".
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(6)
رحم : رَحيم:
ج رحيمون ورُحَماء: صيغة مبالغة من رحِمَ: كثير الرّحمة والشفقة "أبٌ/ شيخٌ رحيم- إنه حاكم عادل بين الناس، رحيم بالضعفاء- {أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ} ".
• الرَّحيم: اسم من أسماء الله الحسنى، ومعناه: الرَّفيق بالمؤمنين، والعاطف على خلقه بالرِّزق، والمثيب على العمل " {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ".
• القتل الرَّحيم: إنهاء حياة المرضى الميئوس من شفائهم طبِّيًّا.
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(7)
رحم : رَحْمَن:
• الرَّحمن

1 - اسم من أسماء الله الحسنى، ومعناه: ذو الرَّحمة التي لا غايةَ بعدها في الرّحمة، الذي وسعت رحمتُه كلَّ شيء، الذي يُزيح العلل ويُزيل الكروب، العطوفُ على عباده بالإيجاد أوّلاً، وبالهداية إلى الإيمان وأسباب السّعادة ثانيًا، وبالإسعاد في الآخرة ثالثًا، المنعِمُ بما لا يُتصوَّر صدورُ جنسه من العباد " {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ".
2 - اسم سورة من سور القرآن الكريم، وهي السُّورة رقم 55 في ترتيب المصحف، مدنيَّة، عدد آياتها ثمانٍ وسبعون آية.
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(8)
رحم : رَحْمَة:
ج رَحَمات (لغير المصدر) ورَحْمات (لغير المصدر):
1 - مصدر رحِمَ ° الرَّحمة: نداء لالتماس المغفرة والصفح أو لاستثارة الشفقة- تغمَّده الله برحمته/ انتقل إلى رحمة الله: تُوفِّي، مات- ملائكة الرَّحمة: كناية عن الممرِّضات- وضَعه تحت رحمته/ جعله تحت رحمته: تحكَّم فيه.
2 - خير ونعمة " {وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ} ".
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(9)
رحم : رَحِميَّة:
اسم مؤنَّث منسوب إلى رَحِم: "أواصر/ التهابات رحميّة".
• نزعة رحمِيَّة: نزعة تميل إلى إيجاد علاقة قويَّة ومتينة تجمع بين الأشخاص أو الأشياء.
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(10)
رحم : رَحِم:
ج أَرحام، مؤ رَحِم، ج مؤ أَرحام:
1 - قرابة أو أسبابها "ونحن في الشرق والفصحى بنو رحمٍ ... ونحن في الجُرح والآلام إخوانُ- إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ [حديث]- {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ} " ° أولو الأرحام/ ذوو الأرحام: الأقارب الذين ليسوا من العَصَبة ولا من ذوي الفروض، كبنات الإخوة وبنات الأعمام- صِلَة الرَّحِم: زيارة الأقارب والإحسان إليهم، وعكسها قطيعة الرَّحم.
2 - (حي، شر) عضو عضليّ أجوف غليظ الجدار يوجد في بطن الثدييات، وفيه يتكوّن الجنين وينمو إلى أن يُولد (يذكَّر ويؤنَّث) " {هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ} ".
• حلقتا الرَّحم: (طب) حلقة على فم الفرج عند طرفه والحلقة الأخرى تنضمّ على الماء وتنفتح للحَيْض.
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(11)
رحم : رَحُوم:
صيغة مبالغة من رحِمَ: كثير الرَّحمة (للمذكر والمؤنث).
المعجم: اللغة العربية المعاصر

(12)
رحم : رَحَموت:
شفقة ورحمة عظيمة "رَهبوتٌ خيرٌ لك من رَحَمُوت [مثل]: لأن تُرهَبَ خيرٌ لك من أن تُرْحَمَ لأن الذي يخافه النَّاس يقتضي أن يكون ع�

adapun pecahan kalimat ro' ha' mim ( رحم ) sebagai berikut :
(1) الرَّحْمة (2) المرْحَمَةُ (3) مَرْحومٌ (4)الرَّحْمَنُ (5)الرحيم(6)راحِمٌ (7) رَحِمٌ (8) رُحُماً (9) الرِحْمُ (10) الرُّحْمُ
kesimpulannya dari aspek semiotika-leksikografi perkataan silaturahmi mempunyai arti sama dengan silaturahim hanya saja penyebutan silaturahmi kurang tepat dan yg tepat silaturrahim.sungguhpun ini hanya ijtihad lughawi, klau lepat mohon ngapuro. suwun.Adapun perkataan silah (صلة) asal kata وصل يصل وصلا atau وصل يصل صلة yang bermakna sambung ( الوصل) lawan darpada putus (ضد القطع). Pada pendapat Ibn Athir yang dimaksud dgn صلة الرحم adalah berbaik-baik kepada kerabat dekat yang masih ada hubungan keluarga ( يقول الإمام ابن الأثير : صلة الرحم هي الإحسان الى الأقربين من ذوي النسب).

HUKUM SYARA' ATAU HUKUM ADAT YANG HARUS DIDAHULUKAN

1. Hukum positif menetapkan sesuatu yang tidak diperoleh petunjuk nash al-Qur’an secara sharih (eksplisit), bahkan kadang-kadang sengaja didiamkan oleh Syari’, dan itu mengimplisitkan kreasi mengatur “al-maskut 'anhu” oleh ummat Muhammad SAW, maka hukum positif seperti ini bisa diterima dan diikuti, sesuai dengan penegasan Usman ibn Affan ra. :
الأثر :
قال عبد المحسن العباد :
وقد بين أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه عظم منـزلة السلطان وما يترتب على وجوده من الخير الكثير، ومن حصول المصالح ودرء المفاسد، وذلك في قوله رضي الله عنه: "إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن"، لأن من الناس من يقرأ القرآن ويرى القوارع والزواجر ومع ذلك لا تحرك ساكنا في قلبه، ولا تؤثر عليه، ولكنه يخاف من سلطة السلطان، ومن بطش وقوة السلطان. (شرح سنن أبي داود، عبد المحسن العباد، ج 1، ص 2)
القاعدة :
"تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَة"، هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال: "مَنْزِلَةُ اْلإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ". قلت: وأصل ذلك ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه، قال: حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال: قال عمر رضي الله عنه: "إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ". (الأشباه والنظائر، عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت، دار الكتب العلمية، سنة 1403 هـ.، طبعة 1،ج 1، ص 121)
2.Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syar’i, maka dalam posisi ini harus ditolak.
السنة المطهرة :
عن عبد الله رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ" (متفق عليه - واللفظ للبخاري، رقم 6725، بيروت، دار ابن كثير, سنة 1407 هـ. / 1987 مـ.، طبعة 3، ج 6، ص 2612، )
قال ابن حجر العسقلاني :
قوله (فيما أحب وكره) في رواية أبي ذر "فيما أحب أو كره". قوله (ما لم يؤمر بمعصية) هذا يقيد ما أطلق في الحديثين الماضيين من الأمر بالسمع والطاعة ولو لحبشي, ومن الصبر على ما يقع من الأمير مما يكره, والوعيد على مفارقة الجماعة. قوله (فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة) أي لا يجب ذلك بل يحرم على من كان قادرا على الامتناع, وفي حديث معاذ عند أحمد "لا طاعة لمن لم يطع الله". وعنده وعند البزار في حديث عمران بن حطين والحكم ابن عمرو الغفاري "لا طاعة في معصية الله" وسنده قوي, وفي حدث عبادة بن الصامت عند أحمد والطبراني "لا طاعة لمن عصى الله تعالى" وقد تقدم البحث في هذا الكلام على حديث عبادة في الأمر بالسمع والطاعة "إلا أن تروا كفرا بواحا" بما يغني عن إعادته وهو في "كتاب الفتن" وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا" فيجب على كل مسلم القيام في ذلك, فمن قوي على ذلك فله الثواب, ومن داهن فعليه الإثم, ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، أحمد بن علي بن حجر العسقلاني، بيروت، دار المعرفة، ج 13, ص 123)
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ". (رواه البخاري)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ" (رواه الطبراني عن عمران بن حصين رضي الله عنه، المعجم الكبير, رقم 381, بيروت, دار الفكر، ج 18، ص 170)
3. Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i, atau hukum positif menetapkankan sesuatu yang ditetapkan hukum syar’i baik dalam perkara wajib atau mandub, maka wajib ditaati, sedang jika menetapkan sesuatu yang mubah, apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib ditaati.
قال محمد نووي الجاوي :
إذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإن أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة وجب، بخلاف ما إذا أمر بمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة. (نهاية الزين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 112)
قال الدسوقي :
واعلم أن محل كون الإمام إذا أمر بمباح أو مندوب تجب طاعته إذا كان ما أمر به من المصالح العامة. (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير، محمد عرفه الدسوقي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 407)
Wallaahu A'lamu Bis Showaab