Selasa, 08 November 2011

Fasal tentang Maslahah ‘Ammah/ Kepentingan Umum

Diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. AI-Nahl: 64)

Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan syariat.

Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara'.

Penggunaan maslahah ‘ammah sebagai tolok ukur dan pertimbangan untuk menetapkan suatu kebijaksanaan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan penggunaan maslahah ‘ammah tidak pada tempatnya, seperti untuk menuruti hawa nafsu, kesewenang-wenangan dan menuruti kepentingan pribadi atau ke1ompok tertentu dengan menggunakan dalih untuk kepentingan umum.

Dengan menggunakan maslahah ‘ammah sebagai pertimbangan untuk menetapkan setiap kebijakan, maka setiap kebijakan yang ditetapkan tidak akan menimbulkan kerugian atau menyalahi kepentingan umat manusia secara luas.

Masalah

Dalam suasana pembangunan yang berkembang sangat dinamik dewasa ini, selalu ditemukan istilah ‘kepentingan umum’. Meskipun disadari bahwa tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat luas dan dilakukan dengan sebanyak mungkin menyediakan sarana dan fasilitas untuk kepentingan umum, diakui atau tidak, ternyata dalam pelaksanaan pembangunan, batasan untuk kepentingan umum ini sering menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan pengertian yang sesungguhnya.

Kepentingan umum akhirnya berkembang dalam perspektif yang beragam; ada kepentingan umum menurut versi pengambil keputusan (umara), atau kepentingan umum menurut ‘selera’ sebagian kedl kelompok masyarakat, dan kepentingan umum yang dipersepsi oleh masyarakat.

Kenyataan yang demikian membawa akibat dan dampak negatif dalam pembangunan. Pemakaian alasan "untuk kepentingan umum" tanpa berpedoman pada maslahah ‘ammah yang dibenarkan oleh syara' akan melahirkan bentuk penyimpangan terhadap hukum syariat dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat lemah oleh golongan masyarakat yang kuat.

فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Maka tegakkanlah hukum di antara manusia secara benar dan janganlah Anda mengikuti hawa nafsu, yang akan menjerumuskan Anda pada k£sesatan, jauh dari jalan Allah. "(QS. Shad: 26)

فَأَمَّا مَن طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى

Maka siapa saja yang bertindak tirani dan memilih kehidupan dunia, maka neraka jahim layak untuk menjadi tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 27-28)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ

Andaikan kebenaran mengikuti keinginan mereka, niscaya langit, bumi dan segala isinya akan binasa/rusak/hancur.” (QS Al-Mukminun: 71)

Kedudukan maslahah ‘ammah sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebajikan perlu diaktualisasikan sebagai landasan untuk menyikapi masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Penggunaan maslahah ‘ammah dirasakan sudah menjadi kebutuhan untuk memperkaya dan melengkapi landasan pembuatan keputusan dan kebijaksanaan dari berbagai kasus sosial yang berkaitan dengan dalih kepentingan umum –khususnya dalam pelaksanaan pembangunan yang sering terjadi selama ini.

Untuk menghindari kemudharatan dan dampak negatif pembangunan, maka maslahah ‘ammah dipandang penting dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi tunggal terhadap wujud dan makna kepentingan umum dalam konteks pembangunan. Dengan maslahah ‘ammah berarti masyarakat telah merealisasikan tujuan syariat.

Ruang Lingkup

Maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa'ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindari kerusakan).

Maslahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi: keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.

Dalam kitab Al-Mustashfa I: 284-286 ditegaskan bahwa maslahah pada intinya adalah ungkapan tentang penarikan nanfaat dan penolakan bahaya. Maksudnya adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara'). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima; yaitu agar hukum memproteksi jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala indakan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka, segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan hukum di atas itu disebut "maslahah". Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah".

Maslahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan khusus (perorangan). Adapun sesuatu yang membawa manfaat dan meniadakan madharat hanya menguntungkan ltau untuk kepentingan pihak-pihak tertentu bukanlah termasuk maslahah ‘ammah.

Maslahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar. Maslahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak wahmiyah (hipotesis). Karena itu, untuk menentukan maslahah ‘ammah harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah dan ditetapkan secara bersama-sama.   

Maslahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur' an, hadis, ijma' dan qiyas. Karena itu, setiap kebijakan yang diambil dengan dalih untuk kepentingan umum tetapi bertentangan dengan landasan tersebut di atas harus ditolak.
 Syariat Islam sangat memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi acuan bagi pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan umun mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit dan tidak bertentangan dengar syariat Islam (Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas). Maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan yang bermuara pada prinsip keadilan kemerdekaan dan kesetaraan manusia di depan hukum.


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Kami utus engkau (Muhammad), hanya untuk memberi rahmat bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya': 107)

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, peranan warga masyarakat, warga bangsa dan lembaga keagamaan menjadi sangat menentukan dalam proses perumusan apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum. Dalam hubungan ini, maka prinsip syura sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an: wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka) menjadi sangat strategis.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

”... dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di internal mereka sendiri.” (QS. Al-Syura: 38)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang latar belakang agama masyarakatnya berbeda-beda, umat Islam seharusnya rnampu mengartikulasikan prinsip-prinsip kemaslahatan yang digariskan oleh ajaran agamanya dalam bahasa seka1igus menurut argumentasi masyarakat. Dengan demikian maka prinsip-prinsip keagamaan yang pada mulanya (dianggap) bersifat terbatas bisa menjadi milik bersama, milik masyarakat, bangsa dan umat manusia.

Jika proses syura, di mana kemaslahatan umum ditentukan, harus melalui lembaga perwakilan, maka secara sungguh-sungguh harus diperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Orang-orang yang duduk di dalamnya benar-benar menghayati aspirasi kernaslahatan umum dari segenap rakyat yang diwakilinya, terutama lapisan dlu'ala' dan mustadh'afin.

b. Untuk mengkondisikan komitmen moral dan politik orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan seperti tersebut di atas, perlu pola rekruitmen yang memastikan mereka datang dari rakyat dan ditunjuk oleh rakyat dan bekerja/bersuara untuk kepentingan rakyat.

c. Secara struktural, lembaga perwakilan tempat persoalan bersama dimusyawarahkan dan diputuskan, benar-benar bebas dari pengaruh ataupun tekanan pihak manapun yang dapat mengganggu tegaknya prinsip kemaslahatan bagi rakyat banyak.

Kemaslahatan umum yang telah dituangkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat (majlis istisyari) merupakan acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah sebagai pelaksana secara jujur dan konsekuen. Prinsip tasharuful imam, manutun bil maslahah harus dipahami sebagai prinsip keterikatan imam dalam setiap jenjang pemerintahan terhadap kemaslahatan yang telah disepakati bersama.

تَصَرُّفُ اْلإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌا بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan penguasa terhadap rakyat harus terarah untuk mencapai kemaslahatan.”

Menurut Imam Syafi'i, posisi penguasa terhadap rakyat, itu laksana kedudukan wali (pelindung) terhadap anak yatim. (Asybah wan Nadla’ir: 82)

Sementara itu rakyat secara keseluruhan, dari mana kemaslahatan ditujukkan dan untuk siapa kemaslahatan harus diwujudkan, wajib memberikan dukungan yang positif dan sekaligus kontrol yang kritis secara berkelanjutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus (legislatif), lembaga pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutif), maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum (judikatif).

Dalam mewujudkan maslahah ‘ammah harus diupayakan agar tidak menimbulkan kerugian orang lain atau sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang mungkin timbul (la dlarara wala dlirar), karena "upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan maslahah".

دَرْأُ الْمَفََاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar