Rabu, 11 Januari 2012

Tentang Tasyabbuh

--
Oleh : Maeluny Sadewo Orbar


BERIKUT SEDIKIT RINCIAN TASYABBUH dengan ORANG KAFIR

Bila penyerupaan (TASYABBUH) nya dengan tujuan meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir.
Bila penyerupaan (TASYABBUH) nya dengan tujuan hanya meniru tanpa disertai untuk turut menyemarakkan kekafirannya hukumnya tidak kafir namun berdosa.
Bila TASYABBUH nya tidak sengaja meniru sama sekali tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kebetulan sama dengan mereka maka tidak haram tetapi makruh.
(مسألة : ي) : حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الصلاة.
Kesimpulan dari pernyataan ulama tentang berbusana dengan menyerupai orang-orang kafir adalah jika dalam berbusana dengan mereka itu karena adanya rasa suka kepada agama mereka dan bertujuan untuk bisa serupa dengan mereka dalam syiar-syiar kafir atau agar bisa bepergian bersama mereka ketempat-tempat peribadatan mereka maka dalam dua hal diatas dia menjadi kafir, namun jika tidak bertujuan semacam itu yakni hanya bisa sekedar menyerupai mereka dalam syiar-syiar hari raya atau sebagai media agar bisa bermuamalah berhubungan dengan mereka dalam hal-hal yang diperkenankan maka ia berdosa (tidak sampai kafir, red), atau ia setuju dengan busana orang kafir tanpa suatu tujuan apapun maka hukumnya makruh seperti mengikat selendang dalam shalat.
Bughyah al-Mustarsyidiin I/529
فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعاً أَوْ فِي شِعَارِ الْعِيْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنِ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ، وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدِ التَّشَبُّهَ بِهِمْ أَصْلاً وَرَأْساً فَلاَ شَيْءَ عَلَيْهِ
"Ketika berpakaian (tingkah laku) menyerupai orang kafir, untuk syi’ar kekafirannya maka ia kafir dengan pasti ….s/d … seandainya tidak bertujuan menyerupai mereka sama sekali tidak apa-apa baginya tetapi itu makruh".
قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ نَفَعَ اللهُ مَا مُلَخَّصُهُ ظَاهِرًا لِلَفْظِ الزَّجْرِ عَنِ التَّشَبُّهِ فِي كُلِّ شَيْئٍ، كَذَا عُرِفَ مِنَ اْلأَدِلَّةِ اْلأُخْرَى أَنَّ الْمُرَادَ التَّشَبُّهُ فِي الزِّيِّ وَبَعْضِ الصِّفَاتِ وَنَحْوِهَا لاَ التَّشَبُّهُ فِي أُمُوْرِ الْخَيْرِ.
"Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata menurut dhoirnya lafadz adalah melarang menyerupai pada setiap sesuatu (dari kafir) begitu juga dalil-dalil lain mengatakan. Maksudnya menyerupai (orang-orang kafir yang dihukumi haram) adalah menyerupai dalam pakaian, hiasan, sifat-sifatnya dan sesamanya bukan menyerupai dalam urusan kebaikan".

fathul barri X/ 273

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

Mengapa Perlu Bertariqah ?



Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya yang terhormat, apakah setiap muslim lebih baik menjadi jama'ah thariqah? Apakah, dengan cara menjadi jama'ah thariqah, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamal-kan tuntunan agama, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan seorang mursyid? Demikian pertanyaan dan saya. Amin ya rabbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Busman Ependi Lamongan, Jawa Timur

Wa alaikumussalam wr. wb.
Dalam Al-Quran ada ayat yang artinya, "Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran: 31).
Ketika ayat inl turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, bilamana aku menjadi mukmin sesungguhnya?

Baginda Nabi SAW menjawab, "Apa-bila engkau mencintai Allah. Mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang di-cintai Allah dan Rasul-Nya. Dan keimanan mereka itu bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW mengulangi kalimat yang terakhir sampai tiga kali. Lalu beliau kembali bersabda, "Kadar bobot iman se¬seorang tergantung pada kecintaannya kepadaku. Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenci-annya kepadaku."

Jadi, kalau kecintaannya kepada Rasulullah SAW bertambah, kecintaan dan keimananya kepada Allah SWT pun akan ber¬tambah. Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya.
Demikianlah Allah SWT mengajarkan kepada kita cara mencintaiNya. Kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya tidak bias dipisahkan. Kalau seseorang mencin¬tai Allah, la juga mencintai Nabi-Nya. la akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintaj Rasul-Nya.

Siapakah orang-orang yang dicintai Rasul-Nya? Tidak lain adalah para pewaris
nya, yaitupara ulama, orang-orang shalih, termasuk para mursyid. Merekalah yang senantiasa menapaki jejak Rasulullah SAW, mengikuti sunnah-sunnahnya.

Sementara itu, keimanan terbentuk secara terbimbing. Nah, di situlah peran para mursyid. Melalui bimbingannya, kita meningkatkan tauhid dan ma'rifat kita kepada Allah SWT.

Lalu, bagaimana dengan orangyang tidakberthariqah? Sebelumnya, perlu di-ketahui bahwa orang yang ingin bertha-riqah, teriebih dahulu harus memahami syari'at dan mefaksanakannya. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dipahaminya. Di antaranya, memahami hak Allah SWT dan hak para rasul.

Setelah mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang di-sampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bag! yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui arkanui iman (rukun Iman) serta beberapa tuntunan Islam lalnnya, seperti shalat, wudhu', dan Iain-Iain.

Namun Anda harus tahu, orangyang menempuh jalan kepada Allah SWT secara sendirian tentu berbeda dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah SWTbersama-sama dengan orang lain, yaitu mursyid.

Kalau mau menuju Makkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tem-pat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekalikedua tempatitu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuan-nya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai pembimbing akan lebih runtut dan sempurna, karena si pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun Yamani, sumur zamzam, maqam Ibrahim, dan Iain-Iain. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, kalau tidak tahu rukun zamani, la tidak akan mampu memulai thawaf, karena tidak tahu bagaimana memulai-nya. Itulah perbedaannya.

PROBLEMA BERSUCI DAN SHALAT DALAM KONDISI OPERASI

DESKRIPSI 

Paiman dan Paimin adalah saudara kembar. Keduanya bisa dikatakan kembar dalam berbagai hal, mulai dari wajah, sifat, perilaku, hobi, bahkan dalam masalah sakitpun terlihat 'kompak'. Suatu ketika, keduanya mengalami gangguan pada "saluran pembuangan kotoran" (qubul/dubur). Paiman tidak bisa buang air kecil, sedangkan Paimin tidak bisa buang air besar. Pihak keluarga akhirnya membawa keduanya ke Rumah Sakit terdekat guna menjalani operasi. Selama berhari-hari alat kelamin (dzakar) Paiman disambung dengan selang. Demikian juga Paimin dipasang selang yang keduanya sama-sama berfungsi sebagai "jalan pembangunan sementara" hingga mereka sembuh seperti sedia kala.

PERTANYAAN 

a. Bagaimana hukum shalat Paiman dan Paimin, dan bagaimana pula cara bersucinya, dengan kondisi selang terpasang pada alat kelaminnya yang pasti selalu terkena najis?
b. Haruskah keduanya melakukan qadla' shalat yang dilakukan dalam kondisi tersebut?

JAWABAN

a. Mempertimbangkan pemasangan selang tersebut karena ada hajat, dan apabila dilepas dapat menimbulkan kesulitan yang umumnya fatal, maka keduanya tetap wajib shalat dan hukumnya sah kendatipun terkena najis. Adapun cara bersucinya dikondisikan sesuai dengan kemampuannya.

Catatan:
Sebelum shalat harus berusaha meminimalisir najis yang terdapat pada selang semampunya.

b. Tidak wajib, karena dlarar (bahaya fatal) ketika melepas selang, termasuk kategori udzur nadir yang berlanjut (dawam).

REFERENSI

1. المجموع شرح المهذب الجزء الثالث صـ 101
قال المصنف رحمه الله تعالى إذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها ولم يجد ما يغسلها به صلى وأعاد, كما قلنا فيمن لم يجد ماء ولا ترابا وإن كان على قرحه دم يخاف من غسله صلى وأعاد, وقال في القديم لا يعيد لأنه نجاسة يعذر في تركها فسقط معها الفرض كأثر الاستنجاء, والأول أصح لأنه صلى بنجس نادر غير متصل فلم يسقط معه الفرض كما لو صلى بنجاسة نسيها.
(الشرح) القرح بفتح القاف وضمها لغتان, وقوله: (صلى بنجس نادر) احتراز من أثر الاستنجاء, وقوله: (غير متصل) احتراز من دم المستحاضة. (أما حكم المسألة) فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال {وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم} رواه البخاري ومسلم. وتلزمه الإعادة لما ذكره المصنف وقد سبق في باب التيمم قول غريب أنه لا تجب الإعادة في كل صلاة أمرناه أن يصليها على نوع خلل أما إذا كان على قرحه دم يخاف من غسله وهو كثير بحيث لا يعفى عنه ففي وجوب الإعادة القولان اللذان ذكرهما المصنف الجديد الأصح: وجوبها والقديم: لا يجب وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والمزني وداود والمعتبر في الخوف ما سبق في باب التيمم, وقوله: (كما لو صلى بنجاسة نسيها) هذا على طريقته وطريقة العراقيين أن من صلى بنجاسة نسيها تلزمه الإعادة قولا واحدا, وإنما القولان عندهم فيمن صلى بنجاسة جهلها فلم يعلمها قط, وعند الخراسانيين في الناسي خلاف مرتب على الجاهل, وسنوضحه قريبا حيث ذكره المصنف إن شاء تعالى.

2. الشرواني الجزء الثاني صـ 134
(ولو وصل) معصوم إذ غيره لا يأتي فيه التفصيل الآتي على الأوجه لأنه لما أهدر لم يبال بضرره في جنب حق الله تعالى وإن خشي منه فوات نفسه (عظمه) لاختلاله وخشية مبيح تيمم إن لم يصله (بنجس) من العظم ولو مغلظا ومثل ذلك بالأولى دهنه بمغلظ أو ربطه به (لفقد الطاهر) الصالح للوصل كأن قال خبير ثقة إن النجس أو المغلظ أسرع في الجبر أو مع وجوده, وهو من آدمي محترم (فمعذور) في ذلك فتصح صلاته للضرورة ولا يلزمه نزعه وإن وجد طاهرا صالحا كما أطلقاه وينبغي حمله على ما إذا كان فيه مشقة لا تحتمل عادة وإن لم تبح التيمم ولا يقاس بما يأتي لعذره هنا لا ثم (وإلا) بأن وصله بنجس مع وجود طاهر صالح ومثله ما لو وصله بعظم آدمي محترم مع وجود نجس أو طاهر صالح (وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا), وهو ما يبيح التيمم وإن تألم واستتر باللحم فإن امتنع أجبره عليه الإمام أو نائبه وجوبا كرد المغصوب ولا تصح صلاته قبل نزع النجس لتعديه بحمله مع سهولة إزالته. فإن خاف ذلك ولو نحو شين وبطء برء لم يلزمه نزعه لعذره بل يحرم كما في الأنوار وتصح صلاته معه بلا إعادة (قيل) يلزمه نزعه (وإن خاف) مبيح تيمم لتعديه.

3. الأشباه والنظائر الجزء الأول صـ 400
قاعدة: فيما يجب قضاؤه بعد فعله لخلل, وما لا يجب. قال في شرح المهذب: قال الأصحاب: الأعذار قسمان: عام ونادر فالعام: لا قضاء معه للمشقة, ومنه: صلاة المريض قاعدا, أو موميا, أو متيمما والصلاة بالإيماء في شدة الخوف, وبالتيمم في موضع, يغلب فيه فقد الماء. والنادر: قسمان: قسم يدوم غالبا, وقسم لا يدوم. فالأول: كالمستحاضة, وسلس البول, والمذي, ومن به جرح سائل, أو رعاف دائم, أو استرخت مقعدته فدام خروج الحدث منه, ومن أشبههم, فكلهم يصلون مع الحدث, والنجس, ولا يعيدون للمشقة والضرورة. والثاني نوعان: نوع يأتي معه ببدل للخلل, ونوع لا يأتي. فالأول: كمن تيمم في الحضر لعدم الماء, أو للبرد مطلقا, أو لنسيان الماء في رحله, أو مع الجبيرة الموضوعة على غير طهر, والأصح في الكل: وجوب الإعادة. ومنه من تيمم مع الجبيرة الموضوعة على طهر, ولا إعادة عليه, في الأصح قال في شرح المهذب, ومن الأصحاب من جعل مسألة الجبيرة: من العذر العام وهو حسن. والثاني: كمن لم يجد ماء ولا ترابا, والزمن, والمريض الذي لم يجد من يوضئه, أو من يوجهه إلى القبلة, والأعمى الذي لم يجد من يدله عليها, ومن عليه نجاسة لا يعفى عنها, ولا يقدر على إزالتها والمربوط على خشبة ومن شد وثاقه ; والغريق, ومن حول عن القبلة, أو أكره على الصلاة مستدبرا أو قاعدا. فكل هؤلاء تجب عليهم الإعادة ; لندور هذه الأعذار. وأما العاري: فالمذهب أنه يتم الركوع والسجود, ولا إعادة عليه وقيل: يومئ, ويعيد, ومن خاف فوت الوقوف لو صلى العشاء. قيل: يصلي صلاة شدة الخوف ويعيد, واختاره البلقيني. صرح به العجلي, كما نقله ابن الرفعة في الكفاية وقيل: لا يعيد. وقيل: يلزمه الإتمام, ويفوت الوقوف, وصححه الرافعي. وقيل: يبادر إلى الوقوف, ويفوت الصلاة لأنها يجوز تأخيرها عن الوقت, للجمع بمشقة السفر, ومشقة فوات الحج أصعب, وهذا ما صححه النووي.

4. الشرقايوي الجزء الأول صـ 178 الحرمين
(وطهارة بدن ملبوس ومكان) للصلاة (عن نجس) فلا تصح الصلاة معه ولو نسيا او جاهلا كما في نظيره من طهارة الحدث (فإن لم يجد
مايغسله به أو خاف) من استعماله (تلفا) لنفسه او عضوه او منفعته (او نسيه) اي الماء (صلى) بحاله لحرمة الوقت (وأعاد) وجوبا بالندرة ذلك وتعبيري بالملبوس أعم من تعبيره بالثوب لشموله الخف ونحوه.
(وملبوس) أي من ثوب وغيره من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك ولا يضر نجس يحاذيه لعدم ملاقه له فصار كما لو صلى على بساط طرفه نجس او مفروش على أرض نجسة فإن صلاته تصح لكن إذا عرق قدمه فالتصق بالبساط المذكور ار متعلقا به عد حاملا له فلتبطل صلاته إن لم ينفصله عنه ..الى ان قال.. (قوله: صلى بحاله وأعاد) محل ذلك في الملبوس إذا عجز عن نزعه وفي المكان إذا عجز عن نزعه وفي المكان إذا عجز عن الإنتقال.